Jumat, 11 November 2011

MOTIVATOR, PERLUKAH ???

Mario Teguh, Tung Dungsem Waringin, Andre Wongso, Hermawan Kertajaya, Gede Prama, Rene Suhardono dan masih banyak lagi adalah sederetan motivator terkenal di negeri ini. Ini belum termasuk ulama, ustad / ustadzah yang setiap hari menyapa kita dini hari. Sebut saja Ustad Solmed, Uje, AA Gym, Mamah Dedeh , Ari Ginanjar dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud mensejajarkan posisi atau kedudukan para ustad/ustadzah dengan posisi motivator, tapi hal ini lebih dikarenakan keduanya bergerak di ranah pemberian motivasi / tausiyah atau memberikan pengarus eksternal di luar diri kita pribadi.


Menurut Mc. Donald, yang dikutip Oemar Hamalik (2003:158) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa motivasi adalah sesuatu yang kompleks.

Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu.

Dalam A.M. Sardiman (2005:75) motivasi belajar dapat juga diartikan sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelak perasaan tidak suka itu.

Menurut Siti Sumarni (2005), Thomas L. Good dan Jere B. Braphy (1986) mendefinisikan motivasi sebagai suatu energi penggerak dan pengarah, yang dapat memperkuat dan mendorong seseorang untuk bertingkah laku. Ini berarti perbuatan seseorang tergantung motivasi yang mendasarinya.

Motivasi adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas. Masih dalam artikel Siti Sumarni (2005), motivasi secara harafiah yaitu sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Sedangkan secara psikologi, berarti usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya, atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. (KBBI, 2001:756).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian motivasi adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek itu dapat tercapai.

Motivasi ada dua jenis, yaitu:
1. Motivasi Intristik
Motivasi yang berasal dari dalam diri /orang itu sendiri.
2. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi : Dorongan yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan. Namun dorongan tersebut datang dari luar individu yang bersangkutan. Jadi orang itu dirangsang dari luar.

Jadi, jika kita menilik jenis motivasi maka pemberian motivasi ( atau dalam ranah agama tausiyah ) termasuk dalam jenis motivasi ekternal.

Pertanyaannya dalah seberapa jauh efektifitas pemberian motivasi yang dilakukan mereka ??

Apakah sesi pemberian motivasi / tausiyah dengan durasi 30 menit sampai 60 menit dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku / sikap / kinerja audiensnya ??

Untuk menjawab hal tersebut diatas tentu saja membutuhkan sebuah penelitian ilmiah yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Akan tetap yang menjadi perhatian adalah menjamurnya kegiatan motivasi dalam berbagai bentuknya seakan dijadikan sebagi jawaban atas semua persoalan / problematika di sekitar kita .

Kinerja karyawan yang menurun , rasa bosan diselesaikan dengan mendatangkan motivator.


Kebobrokan perilaku masyarakat diselesaikan dengan memperbanyak acara pengajian di televisi

Demi mensukseskan siswa agar lulus UN dipanggilkan motivator.

Dan masih banyak lagi moment yang seolah dapat diselesaikan dengan dipanggilnya atau didatangkannya motivator.

Tentu saja hal ini dapat dimengerti disaat segala sesuatu yang bersifat instan, cepat saji, serba kilat sedang gandrung dan banyak di sukai banyak masyarakat dimanapun di dunia terutama dinegara dimana kerja keras, berproses dianggap sebagi sebuah kelemotan atau kuno.

Ketika siswa kita sedang berproses menguasai suatu mata pelajaran, kita sebut saja mata pelajaran matematika atau fisika agar dapat lulus Ujian Nasinal atau diterima di PTN ( Perguruan Tinggi Negeri ) maka mengikuti proses menyelesaikan melalui tahapan - tahapan untuk menjawab suatu soal yang panjang dan katanya berbelit, maka siswa lebih menyukai jalan pintas jawaban yang diberikan lembaga - lembaga bimbingan ( bimbel ) .

Ketika anak - anak kita ajarkan agar menyukai sayur mayur atau protein yang terkandung di tahu atau tempe, maka anak - anak masa kini lebih menyukai makanan cepat saji yang tinggi lemak dan miskin serat.

Ketika orang tua sudah tidak punya waktu luang untuk berbicara atau menghabiskan waktunya dengan anak -anaknya, maka jalan pintas yang dianggap aman dan cepat adalah dengan berlangganan internet atau memasang saluran tivi channel.

Semuanya bertujuan mendapatkan hasil terbaik dengan cara yang pintas.

Hal itu tentu saja tidak keliru, yang jadi pertanyaan samapi sejauh mana pengaruh segala sesuatu yang instan tersebut bagi tercapainya tujuan kita. Karena kita sepakat satu hal sesuatu yang instan akan jauh berbeda dibandingkan sesuatu yang melalaui proses panjang.

Secara kodrati kita dilahirkan melalui proses panjang ibu kita. Selama 9 bulan ibu mengandung kita, dan berpuluh - puluh tahun membesarkan kita.

Pendidikan membutuhkan waktu yang panjang, Play grup, TK, SD, SMP, SMA , PT semuanya membutuhkan waktu berpuluh - puluh tahun.

Pohon Jati yang berumur tua atau panjang berharga mahal jauh dibandingkan pohon kersem yang tumbuh secara cepat.

Terciptanya alam semesta membutuhkan waktu berjuta - juta tahun .

Jadi, alam jika kita bijak memperhatikan dan menjadikannya sebagai guru telah lama mengajarkan kita bahwa hanya melalui proses yang berliku , panjanglah segala sesuatu diciptakan.

Bagaimana dengan trend semaraknya para motivator ? Anda sendiri yang dapat menjawabnya .

Rabu, 09 November 2011

Survival of The Kindest

Posted by: gedeprama | 29 July 2011


Seorang guru yang pernah mengajar dari TK sampai SMU pernah bertutur, bila anak-anak TK berkelahi beberapa menit sudah berpelukan. Namun jika siswa tersinggung, diperlukan waktu lama untuk berpelukan kembali. Ini memberi pelajaran, semakin tua seseorang, semakin sulit ia memaafkan.

Ini juga yang bertanggungjawab kenapa kerja sama antar orang menjadi tidak sederhana. Mengatur kerja sama antar perusahaan untuk menyelamatkan industri, itu lebih sulit lagi. Menandatangani kesepakatan perdamaian antar negara, itu yang paling sulit .

Tentu terlalu dini bila disimpulkan kalau pendidikan dan pengalaman itu berbahaya. Ada memang pendidikan dan pengalaman yang membuat seseorang jadi fanatik, ada juga pendidikan dan pengalaman yang membuat manusia jadi rendah hati sekaligus open minded.

Ini yang sulit dicari. Berpendidikan, berpengalaman sekaligus membuka diri pada orang lain. Ia menjadi sulit karena pengetahuan cenderung membangun kotak, kemudian membagi manusia ke dalam dua kelompok. Yang sesuai dengan kotak disebut teman, yang tidak sesuai menjadi lawan. Itu sebabnya banyak perang dan permusuhan di mana-mana.

Manusia bukan Musuh

Pusing dengan hal-hal seperti ini, seorang murid mencoba mengadu pada gurunya. Dengan lembut gurunya berpesan, sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, berjanjilah bahwa manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman.

Tersentuh oleh pesan-pesan seperti inilah, mereka yang memiliki kedewasaan kemudian menghentikan permusuhannya dengan semua orang. Kemudian pelan perlahan mengurai banyak sekali kesalahpahaman. Bukan dengan perdebatan, melainkan dengan kebaikan. Seperti pesan tetua di Jawa: “huruf Jawa bila dipangku mati”. Dipangku maksudnya diorangkan. Yang mati dalam hal ini bukan tubuhnya, melainkan egonya.

Dan tatkala keakuan tewas, ada diri yang lebih agung muncul yang lahir hanya untuk menolong. “Menolong itu sebuah kegembiraan”, begitulah kira-kira prinsip manusia jenis terakhir. Sister Chan Khong dalam Learning True Love menuturkan, bila ia menikah mungkin hanya bisa melayani beberapa anak. Namun tanpa pernikahan, ada ribuan anak yang bisa diselamatkan. Dalam otobiografi pelayanannya ini, wanita lembut ini menjadi ‘pengemis’ ke sana ke mari untuk membangun rumah-rumah yang hancur oleh bom, mengobati anak-anak yatim piatu, membawa mereka kembali ke sekolah di Vietnam.

Dan yang paling mengagumkan dari semua ini, di salah satu halaman buku indah ini ia berbisik, ketika meminta bantuan materi ke orang-orang, sesungguhnya ia tidak saja membantu korban perang di Vietnam, namun juga melatih banyak pemberi untuk membangunkan sifat-sifat kebaikan yang ada di dalam dirinya.

Terlihat jelas, dalam setiap kegiatan pertolongan, tidak saja yang diberi memperoleh manfaat, yang memberi pun memperoleh manfaat. Bahkan manfaat yang lebih besar: matinya ego sekaligus lahirnya kebaikan. Di jalan ini, berlaku rumus generousity is complete in itself. Pemberian itu sudah sempurna hanya dengan dilaksanakan. Tanpa dihitung, tanpa ditagih, tanpa diharapkan. Ada juga yang menulis: The very purpose of spiritual practise is to serve others. Melayani, itulah satu-satunya tujuan olah spiritual.

Lahirnya Bayi Kebaikan

Sebagaimana diceritakan rapi oleh film Pay It Forward. Satu kebaikan bisa beranak pinak sampai merubah sebagian besar masyarakat. Andaikan banyak pemimpin yang trampil menyemai bibit-bibit kebaikan (melalui keteladanan), menyediakan lahan pada organisasi yang menghargai pelayanan, serta menyiraminya dengan imbalan memadai, betapa indahnya dunia kerja.

Institusi keluarga yang sedang mengalami keruntuhan, hubungan antar manusia yang memanas di mana-mana, juga ikut ketularan. Ia yang tekun di jalan ini akan mengerti, dalam jangka panjang hanya kebaikan yang paling menyelamatkan. Compassion is the best protection. Inilah survival of the kindest. Yang bertahan pada akhirnya hanyalah yang bernafas dengan kebaikan.

Ini tidak perlu dilakukan dengan cara yang hebat-hebat. Seorang wanita bule di Ubud Bali memberi makan pada sejumlah anjing kampung setiap hari. Sahabat kasir mengembalikan uang lebih nasabah. Suami membantu isterinya mencuci piring ketika pembantu pulang kampung. Ada Ibu yang menemukan kebahagiaan sekaligus kebanggaan dengan menyayangi anak-anaknya. Tetangga non muslim ikut menjaga rumah-rumah yang kosong di hari-hari lebaran.

Mengulangi pesan di atas, ketika kita melaksanakan kebaikan sesungguhnya tidak saja sedang menolong orang, namun juga mendidik diri untuk menjadi baik. Dan kebaikan inilah suatu hari yang akan menyelamatkan.

Perhatikan pesan seorang guru: “Memberilah terus menerus. Dan lihat wajahmu berubah menjadi lebih lembut di cermin setelah melakukan banyak pemberian”.

Bagi yang sudah ngelakoni, tidak saja muka jadi lembut, kehidupan memunculkan kelembutan di mana-mana. Isteri, suami semuanya terlihat lembut. Bukan karena berubah dalam sesaat, namun karena kaca mata yang dikenakan adalah kaca mata kelembutan. Sehingga semuanya tidak punya wajah lain terkecuali kelembutan.

Kata Guru Sejarah , Hari Pahlawan itu pada tanggal 10 November.

Mengutip F.Scott Fitzgerald ( 1896 - 1940 ) " show me a hero and i write you a tragedi " maka dalam rangka memperingati hari pahlawan yang telah dilupakan , berikut ini postingan dari Tempointeraktif.Com .
Artikel ini di buat tahun 2006, jauh sebelum diangugrahkannya gelar pahlawan nasional oleh Presiden Susili Bambang Yudoyono sebagai salah seorang dari tujuh nama penerima gelar, tahun ini yaitu 5 tahun setelah artikel ini dirilis .

Seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya yang lebih mengenal Mark Z ( Z- nya lupa dan gak bisa nulismya ) atau Steve Jobs ( pendiri Apple , i-pad dll ) maka nama Syafruddin Prawiranegara adalah sosok no body knows, gak penting bahkan gak usah tahu.

Ini bukan tentang romantisme atau lebaynisme, tapi bahwa kita cenderung mengingat dan mengenal orang atau tokoh yang jauh dari keseharian kita, dibandingkan dengan orang - orang disekitar kita yang keberadaannya lebih berarti tapi sering kita abaikan.


Sederhana Hingga Akhir Hayat

Selasa, 01 Agustus 2006 | 18:00 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Menjadi istri pejabat tinggi setingkat Menteri Keuangan belum tentu aman dari risiko kebijakan ekonomi pemerintah. Tengku Halimah Syafruddin Prawiranegara, 89 tahun, justru sebaliknya.

Pada 1950 Ia terhenyak tepat saat menerima gaji suami yang tidak seberapa dan harus dipotong setengah. Ia bersama rakyat Indonesia turut merasakan tajamnya "gunting Syafruddin", kebijakan untuk memotong dua uang di atas Rp 5. Setengahnya dipinjamkan kepada negara yang saat itu sedang kesulitan dana.

“Kok tidak bilang-bilang?” protesnya kepada suami seperti ditirukan anak keduanya, Salviyah Prawiranegara Yudanarso atau Vivi, 63 tahun. Namun Syafruddin menjawab: “Kalau bilang-bilang tidak rahasia dong." Kebijakan pemerintah yang ditandatangani oleh Syafruddin itu memang bersifat rahasia.

Putri Tengku Raja Syehabuddin ini pun harus kas bon ke Kementerian Keuangan untuk menghidupi 8 anaknya. Utangnya terus bertambah dan baru dilunasi saat Syafruddin menjabat Presiden Direktur The Javasche Bank (Bank Indonesia) tahun 1951.

Tujuh tahun menikmati enaknya hidup sebagai istri Gubernur BI dan tinggal di Jalan Diponegoro Nomor 39 Menteng Jakarta Pusat, Halimah sempat mengumpulkan perhiasan. Namun, itu tak lama karena Syafruddin bersama rekan-rekannya dari partai Masyumi menentang Soekarno yang membubarkan Konstituante.

Sebenarnya Syafruddin, ujar Vivi, tidak ikut menandatangani perjanjian Sungai Dareh sebagai simbol perlawanan Pasukan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Permesta. Namun, karena Syafruddin memiliki sikap “sama-sama menanggung risiko” jadilah Syafruddin dan keluarga turut mengalami hidup sebagai pemberontak.

Halimah yang masih kemenakan Kesultanan Banten, harus hidup di Hutan Bukit Barisan selama 4 tahun. Hutan itu memanjang dari Sungai Dareh Sumatera Barat hingga Pinarik Tapanuli Utara Sumatera Selatan. Ia harus lari terbirit-birit saat melewati hutan pacet, atau gemetar ketakutan saat bertemu harimau dan safir, ditembaki rumahnya dan harus tinggal di sungai agar tak terlacak.

Padahal ia bersama 3 anaknya dibebani emas total seberat 25 kilogram milik negara yang disimpan dalam kantong-kantong kecil sebagai ikat pinggang. "Uang itu sudah dikembalikan ke pemerintah melalui Jenderal TNI Abdul Haris Nasution," jelas Vivi.

Wanita perkasa itu telah pergi pagi tadi, Selasa (1 Agustus 2006) tepat setelah azan subuh berkumandang. Mengikuti jejak suami yang wafat setelah azan maghrib. Halimah dikenang putra putrinya sebagai istri yang tidak pernah mengeluh dan sabar pun lembut hati. Ia tidak pernah memarahi Vivi yang tomboi dan selalu memanggil anaknya dengan panggilan, "Geulis (cantik), bageur (baik)..."

Pun saat suami menolak pemberian Presiden Soekarno sebuah rumah di Jalan Diponegoro Nomor 10 Menteng Jakarta Pusat dengan alasan tidak mau menerima sesuatu yang dibayar oleh pajak rakyat. Satu-satunya rumah peninggalan Syafruddin adalah rumah yang kini telah dibagikan kepada anak-anaknya, rumah di Gedung Hijau Raya Pondok Indah Jakarta Selatan di mana ia menutup mata. "Setiap saat melewati Jalan Diponegoro Nomor 39 (rumah yang saat ini ditinggali Gubernur BI), Ibu selalu bilang, rumah siapa ini besar sekali. Padahal itu rumah yang dulu sempat ditinggali," Vivi mengenang.